Anda pernah mampir ke restoran ‘rasa bintang lima harga kaki lima’? Dalam sebuah perjalanan saya juga pernah menemukan rumah makan dengan tagline ‘harga rakyat rasa ningrat’.
Nah, dalam urusan nama anak, sebetulnya kita sudah biasa mendapati ‘nama ningrat selera rakyat’ dipilih sebagai nama bayi.
Maksudnya? Ya, banyak nama yang pada jaman dulu biasanya banyak digunakan kalangan keraton, bangsawan, dan ningrat; sekarang bisa kita temukan di semua lapisan masyarakat.
Nama gelar atau jabatan di lingkungan kerajaan atau kesultanan bebas dipakai untuk menamai anak meskipun sang orang tua bukan berasal dari golongan darah biru. Nama Ratu, Raja, Sultan, dan Prabu, lazim kita temukan sebagai nama bayi baru lahir.
Beruntung di negara kita persoalan nama ini sudah tidak bersinggungan dengan kekuasan monarki. Padahal di negara seperti Selandia Baru, nama Queen, King, Princess, Duke, dan Lord, ilegal sebagai nama anak.
Arab Saudi juga melarang beberapa nama yang memiliki konotasi kerajaan seperti Sumuw (yang mulia), Malek (raja), dan Malika (ratu).
Nama-nama untuk anak perempuan seperti Ayu, Ajeng, Sri, Dewi dan Dyah, bisa kita jumpai sebagai nama di lingkungan keraton dan di lingkungan perkampungan. Begitu juga dengan nama Wastu, Aryo, Haryo, Arya dan Alamsyah, yang berasal dari nama-nama di lingkungan kerajaan di Jawa serta kesultanan di Sumatera.
Nama lainnya yang mudah ditemukan yakni Raden, Tengku, Kencana, Sanjaya, Wijaya, Teuku, Syah, Seri, Syahbandar, dan Pitaloka.
Sebagian anak yang diberi nama-nama tersebut tentu saja karena betul-betul keturunan ningrat. Tetapi saya juga sering menemukan mereka yang menyandang nama tersebut bukanlah dari kalangan bangsawan.
Kalau sudah begitu, kita pun langsung teringat Shakespeare. Ah, apalah artinya sebuah nama!